Sekitar setengah jam sebelum subuh..
Lagi asik-asiknya mandi byarr byurr...tiba-tiba...Pet!! Listrik mati.
Eaah..sontak saja gelap gulita melanda. Rasanya seperti orang buta.
Mungkin begini rasanya kalau tunanetra sedang mandi. Tak ada cahaya
sedikitpun. Tapi, alhamdulillah masih bisa membedakan mana tubuh bagian
depan dan mana bagian belakang.
Setelah mandi, berangkat
ke masjid. Suasana perumahan gelap gulita. Karena kebanyakan ngobrolin
hal-hal mistis dengan teman kosan, jadinya bayangan penampakan makhluk
halus suka kadang-kadang menghantui. Bagaimana jika tiba-tiba di depan
muncul sesosok anak kecil hitam tak jelas wajahnya berlari menghampiri.
Tapi alhamdulillah tiba-tiba rasa tenang datang ketika teringat kelakar
seorang teman, namanya Sandi, tentang cara membuktikan apakah uang
Rp100.000 yang ada di dompet kita itu asli atau palsu? Ia bilang, "Kalau
pengen tau duit Rp100.000 punya ente itu asli or palsu, cukup taruh
ditengah jalan. Ntar kalo ada yang ngambil, berarti itu duit asli".
Akhirnya apa? Yang terpikir di tengah menelusuri jalanan gelap itu
adalah: jika ada sesosok anak kecil tak jelas wujudnya berlari mendekat,
maka akan langsung saya selengkat (sliding tackle) supaya dia jatuh.
Kalau menangis berati anak orang, tapi, kalo jatuh langsung menghilang
berati mungkin anak jin. Habis perkara. Simpel saja rupanya..
Lalu bagimana jika munculnya dalam bentuk wanita cantik? Ahahay..
Konon, dulu di kampung tempat kelahiran saya, pada zaman listrik belum
ada dan kampung tersebut masih belum seramai sekarang, hiduplah seorang
pemuda. Waktu itu TV hanya ada di kecamatan. Kisahnya, malam itu sang
pemuda pulang menonton wayang di tempat nun jauh dari rumah, sampai
tengah malam. Ketika pulang, ia mengayuh sepedanya melintasi jalan yang
biasa dilewatinya, jalanan kampung nan ditudungi pepohonan, sepi, dan
gelap pula pastinya. Yah, namanya di kampung zaman dulu. Di tengah
perjalanan, ada seorang gadis melambai-lambaikan tangannya,
memanggil-manggil. Gadis itu caaantiiiiikkk..sekaliii... Wangi pula,
harum semerbak. Gadis itu minta diantar pulang, dengan dibonceng sepeda
oleh si pemuda. Bagai ketiban rejeki, si pemuda akhirnya membonceng
gadis nan cantik jelita dan harum itu.
Sepanjang jalan,
sepenglihatan sang pemuda, jalan ke arah rumah si gadis cantik ini
adalah jalan kampung. Namun, semakin lama, si pemuda baru sadar, ketika
tiba-tiba, Cling!!, ia ada di tengah jalan kuburan. Gadis ini membawanya
ke jalan di tengah-tengah kuburan. Lalu, aroma gadis di belakangnya
mendadak menjadi bau busuk. Hmm..si pemuda akhirnya sadar kalau ia
sedang dikerjai gadis jelmaan. Tapi ia tetap tenang, dan langsung
mengarahkan sepedanya ke jalan menuju rumahnya sendiri. Karena harus
melewati sungai, si pemuda akhirnya menceburkan diri dengan memanggul
sepeda jengkinya itu, menyeberangi sungai. Si gadis jelmaan itu? Gadis
itu masih ikut bersamanya. Singkat cerita, sang pemuda telah sampai di
halaman rumahnya sendiri. Si gadis masih bersamanya. Ketika
dipersilahkan untuk ikut masuk ke rumah. Si gadis tidak mau dan langsung
pergi. Di kampung kami, gadis-gadis jelmaan semacam itu disebut "peri".
Mungkin ia adalah gadis jin, yang terpikat oleh pemuda dari kalangan
manusia. Cuma iseng, pengen dibonceng. Dan sekarang pemuda itu sudah
menjadi kakek saya. (Kisah ini menurut cerita beliau sendiri, dan
dibenarkan oleh ibu dan bibi saya yang merupakan anak beliau).
Supaya tidak diganggu jin, yang dianjurkan, di antaranya adalah membaca
ayat Kursy, atau juga, membaca ta'awudz sambil meludah ke kiri sebanyak
tiga kali. Tetapi, meminta perlindungannya harus hanya kepada Allah,
bukan kepada lafadz-lafadz tersebut. Kalau ada di antara Anda ada yang
pernah diganggu, coba cek lagi sholat Anda. Ingat-ingat lagi, barangkali
pernah ada sholat wajib yang ditinggalkan. Wallaahu a'lam. Sholat
adalah tiang agama, jadi jangan dianggap enteng meninggalkannya.
Bang, kiri Bang...! (turun angkot)
Ya, umumnya begitu kan kata-kata yang kita ucapkan kepada sopir angkot jika ingin turun. Kenapa coba harus pakai kata "kiri"?
Pernah sih, ada yang bilang, kata "kiri" itu digunakan karena pintu
angkot ada di sebelah kiri, bukan kanan. Hmm..ya..yaa.. I see..I see..
Berarti, kalau naik becak, kata-kata yang kita ucapkan jika telah sampai lokasi tujuan
dan hendak turun adalah, "Bang, depan Bang...!", karena pintu becak
adalah mulut becak itu sendiri yang ada di bagian muka becak.
Dan
berarti juga, kalau naik bemo, kata-katanya lain lagi, yaitu, "Bang,
belakang Bang...!, karena pintu keluar masuk penumpangnya ada di
belakang (meskipun di sebelah supir juga muat penumpang).
Lalu,
kalau berdasarkan pintu juga, maka kalau kita naik taxi, bila ingin
turun, kita bisa bilang, "Bang, kanan-kiri Bang...!", karena pintunya
ada di kanan dan kiri.
Adapun kalau naik ojek...nah, ini yang paling keren, kita bisa bilang, "Bang, kanan-kiri-depan-belakang-atas-bawah Bang...!"
Ojek (ojek sepeda motor) nggak ada pintunya... (Dan ternyata, bahasa
Inggrisnya "ojek" adalah "motorcycle taxi", menurut buku panduan untuk
mahasiswa asing di kampus kami).
Bicara soal pintu depan, pintu
belakang, dan pintu arah lainnya, Al-Qur'an surat Al-Baqarah (2) ayat
189 rupanya juga membahas soal pintu. Pintu apakah? Pintu masuk rumah.
Ayat tersebut menegur orang-orang yang masuk ke rumah lewat pintu
belakang, dan menganjurkan orang-orang bertakwa agar memasuki rumah
(apalagi rumah orang lain) melalui pintu depan. Untuk lebih jelasnya,
bisa dibaca tafsirnya
Anda pernah ngerasain bagaimana rasanya kalau muka terkena tinju?
Kalau yang hobi berkelahi mungkin sudah hafal bagaimana rasa ngilunya.
Ceritanya begini, waktu itu saya dan "sparing partner" saya, namanya
Jefry (mudah-mudahan kelak menjadi Ustadz Jefry jilid II, jilid III,
atau jilid IV), sedang mewakili perguruan Tapak Suci Putera Muhammadiyah
Daerah Garut dalam sebuah kejuaraan di
Bekasi, untuk cabang "demonstrasi ganda", yaitu duel dengan skenario
(teman-teman lainnya di cabang tarung). Mmm..seperti apa ya kalau
dijelaskan? Ya..pokoknya kurang lebih seperti adegan berkelahi di
film-film laga. Seperti Iko Uwais melawan Aan Ruhiyat pemeran Mat Dog
dalam film The Raid. Perkelahiannya sudah diskenario. Semuanya sudah
diatur, kapan kita memukul atau dipukul, kapan menangkis, dll. Yang
paling sedih adalah jika kita mendapat giliran dibanting. Jika partner
melakukan gerakan membanting, maka kita yang harus membantingkan diri
dan melemparkan tubuh kita sendiri. Terlebih waktu latihan, seringkali
kami melakukannya di atas ubin keramik. Iiihhh..itu kalau beres latihan
rasanya badan pada encok. Tapi partner saya badannya sangat kuat untuk
urusan dibanting di lantai keramik. Makanya kalau di film ada adegan
jagoan menendang muka penjahat lalu penjahatnya terpental berputar-putar
dan terjatuh di meja dagangan tukang kue sampe mejanya hancur, itu
sebenarnya si penjahat yang melemparkan dirinya sendiri. Makanya
kelihatan hebat sekali kan si jagoan, menendang sedikit bisa bikin
penjahat mental. Padahal kalau berkelahi sungguhan, hampir-hampir tidak
ada orang ditendang sampai mental seperti itu.
Nah, waktu itu
itu kami berdua sudah di arena, dipandangi ratusan pasang mata, para
atlet, pelatih, dan dewan juri. Dari awal alhamdulillah adegan
perkelahian kami lancar. Sampai tiba giliran saya melemparkan diri lalu
menjatuhkan badan di lantai. Brugg!! Lumayan, linu. Tapi yang lebih
nyeri adalah ketika saya bangkit, dan tanpa sadar partner saya ini sudah
melesatkan tinjunya ke muka saya. Ndilalah, antisipasi saya telat.
Hasilnya, mendaratlah tinju dari tangan kekar itu di muka saya. Bukkk!!
Anda tahu rasanya? Mungkin kurang lebih seperti muka kita terkena
lemparan sepatu. Seingat saya, yang lebih ngilu dari "ketonjok" adalah
waktu saya jalan meleng di depan kelas (waktu di ma'had), dan tidak
melihat jendela di depan saya sedang terbuka. Tiba-tiba...Brakkk!! muka
saya menabraknya. Sampai sore harinya, di muka saya ada garis tebal
memar berpola teralis jendela.
Tapi, tak mengapalah. Biar jadi
kifarat (kaffaarat) dosa-dosa saya, karena Allah tahu siapa saya
sebenanya. Sebab, pada sesi latihan juga, partner saya pernah tidak
sengaja terkena sabetan golok pegangan saya. Lumayan..impas.. Kalo kata anak ekonomi, 'break even point'.
Eh iya, ngomong-ngomong, Anda tahu "kifarat/kaffaarat" nggak?
Kifarat/kaffaarat itu kurang lebih artinya "penghapusan dosa". Jadi,
dalam Islam, sebetulnya juga ada istilah penghapusan dosa. Tetapi bukan
dengan cara membayarkan sejumlah uang kepada ulama. Melainkan, bisa
dengan menerima cobaan, penyakit, hukuman, dll. Atau kalau inisiatifnya
datang dari kita sendiri, maka setiap ada kesalahan yang kita perbuat,
harus dihapuskan dengan memperbanyak perbuatan baik yang setimpal.
Makanya, dulu waktu Wahsy, pembunuh Sayyidina Hamzah paman Nabi,
menyatakan diri masuk Islam dan bertobat, Nabi
shallallaahu'alaihiwasallam mengatakan kepadanya bahwa kelak ia (Wahsy)
akan melakukan kebaikan besar yang menghapus kesalahan besarnya membunuh
Sayyidina Hamzah. Dan benar, beberapa waktu kemudian, dalam sebuah
peperangan dengan musuh, Wahsy berhasil menumbangkan salah satu pembesar
pasukan musuh.
So, perbanyaklah berbuat baik. Minimalnya untuk menghapus dosa-dosa kecil yang sering kita cicil setiap hari.
Waktu itu saya masih blajar di ma'had...
Kebetulan sedang libur bulanan. Libur bulanan, biasa jatuh pada hari kamis-jum'at setiap pekan pertama awal bulan.
Sbagai orang jauh, bkn orang asli stempat, saya tidak pulang ke rumah
seperti rekan-rekan yg lain, melainkan stay-in saja di ma'had bersama
bbrapa tman lain yg jg tdk pulang.
Siang itu, saya mandi menjelang adzan dzuhur. Satu lokal kamar mandi yg trdiri dari 12 bak mandi besar itu seingat saya hanya ada saya seorang yg mandi.
Hingga selesai mandi, semua seperti biasa. Tidak ada apa-apa. Lalu,
saya brjalan keluar dari lokal kamar mandi, menenteng alat2 mandi bserta
handuk, menuju tempat wudhu di dkat ruang makan. Suasana bgtu sepi. Di
dkat saya tidak ada orang. Paling2 hanya bbrapa karyawan ma'had. Itupun
jaraknya agak jauh.
Di tempat wudhu, air tidak keluar. Akhirnya
saya menghampiri kran yg brjarak bbrapa puluh langkah dr tmpt wudhu,
untuk brwudhu di sana.
Sampai beres wudhu, suasana di sekitar saya biasa saja. Lengang.
Nah, bgtu saya hendak brjalan ke kamar, barulah cerita bermula.
Di dkat tmpat wudhu tadi, tiba-tiba ada seorang wanita paruh baya
menyapa saya. Saya tidak tahu dari mana datangnya. Sblum saya wudhu, di
situ tidak ada orang. Tapi tiba-tiba saja wanita paruh baya itu muncul.
"Jang, punten Jang, nyuhunkeun sedekahna.. Kangge budak yatim.. Emak
teh ti Gunung Suluh..", kata wanita itu. Saya lupa, apakah yg dia
katakan itu Gunung Suluh atau Gunung Batu. Yg jelas, nama gunung itu
asing bagi saya. Setahu saya, gunung yg dkat dngan ma'had bernama Gunung
Cikurai dan di belakangnya ada Gunung Papandayan.
Saya lalu buru-buru ke kamar, mengambil sesuatu yg bisa diberikan utk wanita itu.
Setelah itu, saya balik lg ke tmpat kmunculan wanita itu, dan memberi ala kadarnya.
Lalu wanita itu brkata, "Hatur nuhun, Ujang.. Ehm, Ujang, ari ngamar
palih mana? Tiasa nyuhunkeun acuk anu tos teu diangge, sareng cai asak
herang?"
Bliau lalu saya ajak ke kamar. Di kamar saya hanya ada 2
orang tman. Tman saya itu lalu memberinya pakaian yg sudah tidak
dipakai. Saya pun memberikan "cai asak herang" seperti yg dia minta.
Segelas air putih pun saya serahkan kpada wanita itu.
Saya pikir
dia ingin minum. Rupanya bukan. Dia membaca-bacai air itu. Saya melihat
sndiri bgmana air itu nampak sdkit brubah warnanya. Wanita misterius itu
lalu brtanya pada saya, "Ujang, tiasa saum tilu dinten? Upami teu
tiasa, wios engke ku Emak disaumkeun..", seraya menyerahkan kmbali sglas
air putih itu kpda saya. Saya bingung campur panik dan takut. Akhirnya
saya buru-buru pergi meninggalkan wanita itu, menuju masjid, karena
kbtulan saya blum shalat dzuhur.
TO BE CONTINUED... (pengalaman pribadi 8 tahun lalu)
Sering kalau sedang naik angkot atau berjalan kaki menyusuri jalanan,
saya melihat ada toko/kios berukuran kira-kira 4x4 atau lebih, yang
menawarkan suatu produk obat. Di depannya tidak ada plang seperti
layaknya puskesmas ataupun klinik yang bertuliskan "Dokter 24 Jam"
ataupun nama klinik. Yang menjadi identitasnya hanyalah sebuah banner
atau papan reklame bergambar wanita
seksi atau pria berotot sedang berpose, yang di sebelahnya ada dua buah
kata yang menunjukkan nama sebuah obat. Dua kata itu: kata depannya
adalah "Obat", dan kata belakangnya adalah "Kuat". Di beberapa kios yang
lain, mungkin untuk tujuan diferensiasi produk, kata belakangnya ada
yang menggunakan kata "Perkasa", atau "Macho". Beuh..saya baru membaca
papan reklamenya saja sudah serasa macho.
Dulu, waktu saya masih
polos, saya pikir, obat apaan nih? Namanya sangat biasa, namun
mengundang penasaran. Barangkali dengan meminum itu seorang pria akan
memiliki tubuh yang kuat sehingga mampu mengerjakan sholat sunnat 1000
rakaat. Dan nampaknya, kios tersebut juga menjual mainan, karena di
papan relamenya ada kata "Toys". Ah, bukan main..
Kalau orang polos mungkin menduga bahwa di situ juga jual mainan
anak-anak agar kalau ada orang dewasa hendak membeli obat di situ dan
kebetulan membawa anak, maka sang anak bisa dibelikan mainan agar tidak
rewel.
Namun, setelah semakin dewasa, kini saya mengerti, bahwa
kekuatan yang ditawarkan oleh obat tersebut bukanlah kekuatan seluruh
tubuh agar seorang Samurai kuat menenteng empat pedang di pinggangnya
atau agar seorang tentara kuat menjinjing senapan serbu, melainkan
kekuatan untuk mengisi "organ tertentu" saja. Weleh-weleh...
Sekarang saya mengerti bagaimana "kekuatan pria" diukur. Namun, kalau
kita menilik hadits. Rasulullah shallallaahu'alaihi wasallam menjelaskan
bahwa pria yang kuat adalah yang mampu menahan diri dari nafsu amarah.
"Amarah" berasal dari kata 'amar' yang artinya 'perintah'. Sehingga,
pria yang kuat adalah pria yang pandai menahan nafsu yang memerintahkan
kepada keburukan, dan mampu mengendalikan diri. Kalau dihubungkan dengan
khasiat "obat" di atas, maka semakin pandai seorang pria mengendalikan
diri untuk tidak segera melampiaskan nafsunya, semakin "kuat" lah ia.
Tidak aneh, jika seorang ulama menganjurkan para pria untuk pandai
"bersabar". Sebab, nafsu dan tempramen pria, pada umumnya, mudah
terpicu. Entah itu nafsu amarah, ego, maupun nafsu lainnya. Sehingga,
kesabaran dan pengendalian diri sangatlah perlu untuk terus kita latih.
Suatu malam, saya bersekongkol dengan beberapa orang teman, sekaligus
melakukan lobi terhadap seorang teman yang saya anggap termasuk salah
seorang yang paling alim di asrama mahasiswa.
"Ente maunya yang kayak gimana?" tanya si alim ini.
"Pokoknya yang udah jadi lah..", jawab saya.
"Yang udah jadi gimana, maksudnya?" tanyanya lagi.
"Ya pokonya yang solehah bener-bener. Jilbabnya syar'i. Yang meskipun dunia kiamat luluh lantak, dia akan tetep berjilbab demikian. Piye? Ada nggak?" tanya saya.
"Hmm..ada, ada", katanya.
Singat cerita, keesokan paginya saya dan dua orang teman telah bersiaga
di sebuah fakultas bernama "Fakultas Dirasat Islamiyah". Adapun teman
saya yang alim ini sudah ada di dalam gedung fakultas tersebut,
memastikan "target" kami sudah dalam genggaman. Tidak lama kemudian, ada
sms. Isinya: "Mas Boy, kelas udah kelar nih". Maksudnya, supaya saya
dkk. segera bergerak menuju "sasaran". Kami segera saja merangsek masuk
ke dalam gedung tersebut, layaknya regu kecil Delta Force melancarkan
operasi intelijen. Teman saya si alim, bertindak sebagai pengintai. Dua
orang rekan saya akan menjadi "eksekutor". Adapun saya,,,bertugas
menjadi "jilbabers hunter", pemburu para jilbaber. Jobdesk saya adalah
mengumpulkan data para jilbaber yang akan menjadi "target", menghubungi
mereka, menentukan waktu, dan menyiapkan bingkisan...
Bila "target" telah terkunci, maka dua orang rekan saya yang akan
melakukan "eksekusi" dengan melakukan wawancara terhadap para jilbaber
terpilih tersebut, seputar sejarah mereka berjilbab hingga kokoh seperti
sekrang ini, faktor-faktor pendukung dan penghambat, jilbab dan karir,
dan banyak lagi.
Seorang jilbaber sempat agak terkejut waktu saya
bilang, "Sebenarnya Mbak sudah kami intai sejak lama". Hehe..supaya
memancarkan hawa intelijen
Dan salah satu yang kami highlight adalah statement seorang jilbaber
yang sempat kami wawancarai, yang bunyinya kurang lebih, "Dulu ketika
pertama kali berjilbab, orang tua dan teman-teman meragukan saya,
jangan-jangan nanti dilepas lagi. Tapi saya berani bertaruh, bahwa saya
akan teguh. Dan sekarang, saya buktikan, bahwa jilbab/hijab tidak
menghalangi aktifitas saya. Saya sampai sekarang masih suka mendaki
gunung, dan juga melakukan kegiatan-kegiatan semacamnya. Lalu, kalau
memang belum ada wanita aktif, unggul, pemanjat tebing or semacamnya,
yang berjilbab, maka saya akan mengadakannya, dengan membuat diri saya
menjadi wanita seperti itu." Beeuuuhhhh... mantabz. Dan si Mbak jilbaber
yang mengunkapkan statement tersebut memang betul-betul berjilbab
syar'i, berjubah, layaknya pemeran wanita di film Ketika Cinta
Bertasbih. Lho kok tau? Ya iyalah..lha wong meski wawancaranya hanya
beberapa menit, tapi pengintaian kami berhari-hari, didukung dengan para
informan terpercaya yang betul-betul mengenal dekat para jilbaber yang
menjadi "target".
Selain menjadi "jilbabers hunter", saya juga
merangkap sebagai pengumpul data interview terhadap para wanita yang
tidak atau belum berjilbab. Alhamdulillah upaya ini didukung oleh
beberapa teman yang lain.
Dan yang sungguh luar biasa adalah respon
yang sangat positif dari para responden, yang notabene tidak berjilbab
atau belum berjilbab secara permanen. Beberapa di antaranya mengutarakan
bahwa salah satu faktor yang membuat mereka belum siap berjilbab,
adalah adanya konsekuensi dari jilbab yang menuntut mereka harus sudah
baik akhlaknya, sedangkan mereka belum siap, sehingga merasa belum
pantas. Ada juga yang memaparkan bahwa kondisi lingkungan dan
teman-temannya belum mendukung, sehingga ia takut ada "gap" dengan
teman-teman. Tapi, secara umum, para responden tersebut, menyatakan
bahwa mereka ada iktikad untuk berjilbab di waktu mendatang.
Hmm..insyaAllah..prosesnya akan berjalan lancar, jika rekan-rekan
jilbaber lebih memperluas pergaulannya, menjangkau teman-teman yang
belum berjilbab, dengan pergaulan yang betul-betul cair, agar bisa
menciptakan motivasi berjilbab di kalangan teman-teman kita yang belum
berjilbab atau belum permanen berjilbab.
Sewaktu tinggal di dhersane (kami sempat menyebutnya Kosan/Asrama
Turki), kami akrab dengan budaya "Tea-Time". Entah itu diskusi, mengaji,
bercengkerama, santai, ataupun ketika menyambut tamu, maka "tea-time"
insyaAllah selalu menjadi sajian andalan. Pengasuh kami dan rekan-rekan
menamai saat-saat minum teh itu dengan istilah "çay saatı" (dibacanya
"Chai Sa-ate"), hampir mirip dengan
bahasa Arab, di mana "çay" adalah teh yang bahasa Arabnya "syai", dan
"saatı" artinya waktu, seperti "saa'ah" dalam bahasa Arab.
Implikasi dari intensitas budaya minum teh yang begitu sering, adalah
seringnya kami mencuci cangkir-cangkir teh, sendok, dan teko. Akhirnya,
saya sebagai orang iseng, mengusulkan kepada ketua kami untuk
meningkatkan "efisiensi" supaya kami tidak bolak-balik mencuci cangkir.
Saya bilang aja ke ketua, "Bi, mungkin supaya lebih efisien dan biar
kita nggak usah bolak-balik nyuci cangkir, bagaimana kalo kita minum
tehnya langsung dari tekonya, dan kita udah ngemut gula di mulut kita
masing-masing? Jadi nggak perlu cangkir, sendok, dan tempat
gula..begitu..haha "
Eheheh, rupanya ketua membalas kelakar saya. Dia bilang, "Wah, itu
masih kurang efisien. Supaya lebih efisien, langsung saja kita masukkan
air panas ke mulut kita, lalu tambahkan gula, dan terakhir masukkan teh
celup lalu kita kumur-kumur....blubuk-blubuk!! hahaha!! Jadi lebih efisien, karena nggak perlu teko juga.. " (begitu kurang lebih perkataannya saya bahasakan ulang)
Hehe..tapi kalau dipikir-pikir dari segi etika dan estetika, efisiensi
yang kami ajukan di atas tidak bagus. Sehingga, kami kembali kepada
konsep yang diajarkan Rasulullah shallallaahu'alaihi wasallam, yakni
tidak langsung minum dari teko, kendi, atau bejana, melainkan dituang
dulu ke gelas atau cangkir, supaya kalau. (Kecuali kalau darurat atau
kepepet. Misalnya, karena gak ada gelas or cangkir.)
Nah,
dewasa ini kita kerap mendengar istilah "standing party" atau pesta
tanpa tempat duduk. Sebetulnya kalau hanya sekedar pertemuan biasa
dengan tidak duduk, tanpa melibatkan acara makan-minum, mungkin tidak
mengapa. Tetapi, hampir-hampir kan di setiap acara itu ada acara makan
dan/atau minum -nya.Ya tho? Inti dari sebuah acara, kebanyakannya,
adalah pada sesi makan-minumnya kan? Coba saja, kalau Anda mengundang
pesta, tapi tidak ada makan atau minum-nya. Beberapa persen kemungkinan
para hadirin dan hadirat nya bisa-bisa pada merengut, atau, buru-buru
pulang, atau kalau yang bisa sabar, maka akan permisi keluar sebentar,
untuk membeli makan/minum di luar, lalu masuk ke ruangan kembali.
Selanjutnya, karena acara pesta biasanya ada sesi santap hidangan
makanan/minuman, maka hendaknya jika kita yang bertindak sebagai
penyelenggara, kita sediakan pula tempat duduk, bisa berupa kursi, atau
sejenisnya. Agar, acara kita tidak hanya lancar, tapi juga ada nilai
keberkahan dan ibadahnya dengan melaksanakan apa yang dianjurkan
Rasulullah Muhammad shallallaahu'alaihi wasallam.
Laqod kaana lakum fii rasuulillaahi uswatiun hasanah
Saya sedang berjalan di trotoar di sisi jalanan kampus, hendak menuju tempat semedi saya: warnet.
Tiba-tiba seorang mahasiswi berjalan menghampiri saya dari arah parkiran motor.
Saya pikir hendak bertanya alamat. Gak tahunya dia minta tolong, motornya tidak bisa dinyalakan.
Saya coba starter, dan ternyata benar. Mesinnya tidak mau menyala. Berkali-kali saya starter, tetap motor ini keras kepala dalam "mati suri" nya.
Gagal menstarter, saya beralih kepada cara kedua: meng-engkol pedal selagh-nya.
Tetep gak mau nyala. Astaghfirullaahal'adziim.. Saya jadi teringat
peristiwa "Membuka Tutup Botol" di bus jurusan Tangerang-Bekasi yg dulu.
Saya tanya, "Biasanya begini, Mbak?
"Nggak kok. Ini baru aja begini", jawab mahasiswi itu.
"Pernah tiba-tiba berhenti di tengah perjalanan?" tanya saya seperti intelpol mengintrogasi.
"Pernah sih. Tapi nyala lagi kok waktu itu.." jawabnya lagi.
Saya bingung, lalu menelpon seorang kawan.
Di tengah-tengah saya menelpon, seorang murid saya lewat. Lalu dia
melihat saya yg kebingungan. Dia lalu mmbantu kami. Dan... Aha! dia
temukan trouble-nya.. dan mesin motor berhasil menyala di tangannya..
ALhamdulillaah..
Pelajaran yg kami dapat hari ini:
1. Firman Allah bahwa siapa yg menolong (dlm ayat Qur'an: menolong agama Allah), maka Allah akan menurunkan bantuan.
2. Orang yang barangkali sering terlupa oleh kita, barangkali justru dia yang akan menolong kita.
Pernah nonton film "Daredevil" (2003) ?
Di scene pembukanya, diperlihatkan Matt Murdock, yang diperankan oleh
Ben Affleck, yang mengenakan kostum Daredevil tanpa topeng jatuh dari
atap gereja, kejeblos, dan tubuhnya terhempas ke ruangan gereja. Lalu
seorang berpakaian pastur/pendeta yg kbetulan ada di ruangan itu
mnghampirinya.
Kalo saya yg
mnggantikan Ben Affleck memainkan adegan itu, (meskipun akan mmbuat
Daredevil nya bertubuh pendek, gemuk dan jenggotan), saya memilih jatuh
di dalam masjid lalu dihampiri oleh marebot masjid yg lagi i'tikaf.
itupun harus pake stuntman, supaya nanti saya tinggal akting
menggelepar-gelepar dan merintih kesakitan. Enak tho? Itu dunia, bisa
direkayasa. Bisa pakai pemeran pengganti. Yang patah tulang, keseleo,
dan lebam-lebam adalah si stuntman/pemeran pengganti, tetapi, yang
terkenal adalah aktornya.
Namun, akhirat sama sekali berbeda
dgn dunia. Setiap orang bertindak sebagai dirinya sendiri, dan mmperoleh
ganjaran sesuai yg diperbuat masing-masing.
Misalnya: Kalau Anda
melakukan perbuatan yg mulia di sisi Allah, lalu saya berprasangka buruk
terhadap Anda, maka setiap kita hnya mmpertanggungjawabkan
perbuatan/amalan kita masing-masing. Anda bertanggungjawab atas
perbuatan mulia Anda, dan mudah2an mndapat ganjaran yg baik. Sedangkan
saya, akan dimintai pertanggungjawaban atas prasangka buruk yg saya
tujukan kpda Anda.
Dan mnurut surat Az-Zumar ayat 7, An-Najm ayat 38, dan Al-Israa' ayat 15, seseorang tidak memikul dosa orang lain.
Subhaanaka laa 'ilma lanaa illaa maa 'allamtanaa innaka Anta Al-'Aliimu Al-Hakiim.
Andaikan manusia hanya berjenis laki-laki... dan semua perempuan adalah
bidadari syurga, yang tercipta bukan dari proses perkembangbiakan,
melainkan diturunkan langsung oleh Allah dari langit, setiap satu bulan
sekali... mungkin pada hari jadwal "hujan bidadari", jalan-jalan
protokol setiap kota dan kabupaten, alun-alun, dan stadion olah raga,
akan dipenuhi manusia (yang semuanya
laki-laki) beberapa jam sebelum "hujan bidadari" itu turun. Dan begitu
langit mulai gelap oleh karena cahaya matahari terhalangi jutaan
bidadari yang berjatuhan dari langit, orang-orang berlarian, saling
berlomba-lomba seperti sedang mengejar layangan putus. Ada yang
bela-belain manjat gedung tinggi, karena sebagian bidadari jatuh di
sana. Ada yang memanjat pohon-pohon, sebab beberapa bidadari nyangkut di
pohon. Orang-orang yang baru beres renang, nyebur lagi ke kolam renang,
karena ada bidadari yang nyemplung di kolam itu. Sopir-sopir truk dan
kontainer mengerahkan kendaraan mereka untuk menadahi bidadari-bidadari
yang berjatuhan itu, supaya bisa mendapatkan puluhan bidadari sekali
tangkap. Para nelayan yang sedang ngopi-ngopi dan bakar-bakar ikan
segera meninggalkan aktifitasnya ketika melihat ribuan bidadari ada yang
kecebur di laut, dan mereka segera menyalakan kapal motor mereka sambil
membawa jaring pukat harimau, agar bisa meraup bidadari-bidadari yang
mengambang di laut itu. Pemulung-pemulung yang sedang memunguti sampah,
langsung menumpahkan kembali barang-barang rongsokan di karung dan
gerobaknya, untuk menangkap dan mengangkut bidadari-bidadari yang
berjatuhan. Orang-orang saling berebut,
"Gua mau bidadari yang itu, yang pake selendang ijo.."
"Enang aja lo, orang itu udah gua bidik dari tadi.."
Sopir-sopir truk dan para nelayan, pulang ke rumah sembari bersiul-siul merayakan kemenangan. Orang-orang pada bertanya,
"Dapet berapa, Bang?"
"Lumayan,,,truk gua penuh nih, hehe..", jawabnya.
Selera terhadap perempuan itu ada dalam diri setiap laki-laki yang
normal secara fitrah penciptaan. Sebab, memang Allah telah
menginstallnya dalam diri setiap laki-laki melalui -kalau kata anak IT-
bahasa pemrograman dalam storage Al-Qur'an surat Ali Imran (3) ayat 14.
Karenanya, wanita dalam segala bentuk, warna, dan ukuran, In Sya Allah
telah Allah jadikan ada laki-laki yang mau menikahinya. Sehingga,
seorang muslimah tidak perlu (tepatnya: jangan) mengorbankan nilai-nilai
aqidah dan syariat hanya demi mendapatkan cinta seorang laki-laki.
Allah memerintahkan kita berusaha, semaksimal mungkin, dalam mencapai
sesuatu. Kendati demikian, segala upaya maksimal kita tersebut hanyalah
merupakan hal minimum di hadapan Allah, yg harus kita penuhi, sekedar
supaya kelihatan pantas, bahwa kita layak mendapatkan suatu hasil.
Ya. Contohnya: jika Anda sakit, maka ikhtiar maksimum Anda barangkali adalah berobat ke dokter, rumah
sakit, tabib, pengobatan herbal-tradisional, dsb. Namun, semua upaya
susah payah Anda itu di sisi Allah hanyalah syarat minimal. Sebab, Anda
hanya harus datang k tmpat berobat, pada hari tertentu. Tidak perlu
menciptakan dulu dokternya, lalu Anda urus dia dari kecil sampai dewasa,
lalu Anda didik menjadi dokter, yg memakan waktu bertahun-tahun baru
Anda bisa berobat. Anda tidak perlu menciptakan dulu tumbuh-tumbuhan
obat, lalu Anda teliti tumbuhan mana yg baik untuk obat, dan lalu Anda
serahkan kpd si Dokter krn Anda mau berobat kepadanya. Ikhtiar kita
hanyalah persentase kecil dari keputusan Allah, yg jika tidak dipenuhi
maka pencapain hasil yg kita inginkan akan mendekati kemustahilan;
sekalipun Allah bisa mewujudkan yg mustahil itu.
Contoh lain: Anda
lapar, dan ingin makan. Kalau Anda mau masak sendiri, upaya maksimum
Anda adalah belanja apa yg mau dimasak, lalu memasaknya, kemudian
memakannya. Tapi, di sisi Allah, upaya Anda tersebut hanyalah syarat
minimal yg harus Anda penuhi. Sebab, jika Anda ingin beli beras, Anda
cukup tinggal beli. Tidak perlu menciptakan dulu petaninya, mengurusnya
dari bayi sampai dewasa, lalu mendidiknya dgn ilmu dan tata cara
bertani, dan kemudian menyuruhnya menjual beras hasil bercocok tanamnya
kpada tukang beras yg akan Anda kunjungi. Karena, semua itu adalah
"ranah" yg diatur oleh Allah. Bukan wilayah kita.
Seperti halnya
jika kita bercocok tanam. Ranah yg menjadi wilayah kita, yg merupakan
upaya maksimum kita, adalah menggali tanah, menaruh benih tanaman yg
akan dipendam, lalu menutupkan tanahnya kembali. Tetapi, perkara benih
itu akan tumbuh atau tidak, itu adalah wilayah 'prerogatif' Allah.
Ikhtiar/berusaha adalah wilayah kita. Adapun berdoa adalah permohonan
kita agar Allah melakukan tindakan terbaik pada apa yg menjadi
wilayah-Nya.
Kaum atheist/ateis meyakini bahwa usaha dan hasil
adalah wilayah manusia. Namun, perlu diperhatikan, bahwa ada upaya yg
tidak mendatangkan hasil, dan ada pula hasil yg datang tanpa diupayakan.
Di situlah Kebijaksanaan Allah berada.
Innamal 'ilmu 'indallaah..wa innamaa ana nadziirun mubiin..
Pada beberapa wanita, seringkali konsep tentang pria ideal yang pantas
jadi pasangan (suami) mereka itu “terlalu banyak kriteria” yang harus
dipenuhi. Tidak cukup ganteng, tapi harus juga baik hati, penyayang,
baik agamanya, dan yang paling wajib adalah “mapan”. Bahkan ada yang
lebih banyak lagi, dengan kriteria mendetail, seperti: si pria harus
berhidung mancung, kulit putih, tinggi
180 cm, penghasilan per bulan minimal Rp30 juta, udah punya rumah, punya
mobil, keturunan bangsawan atau orang terpandang, dan lain-lain. Namun,
tidak semua wanita seperti ini. Ada juga wanita yang memprioritaskan
kriteria tertentu saja yang wajib, sedangkan kriteria-kriteria lainnya
tidak wajib ada, jika memang tidak ada “pria versi komplit”.
Sedangkan pria, justru sebaliknya. Seringkali, dalam memilih wanita,
pria “kekurangan kriteria”. Pokoknya, asalkan si wanita punya wajah yang
cantik dan bodi yang aduhai, maka oke sajalah. Dampaknya, ada
kecenderungan “semua wanita masuk kriteria”. Namun, tidak semua pria
demikian. Ada juga pria yang setia dengan satu wanita. Dari
beberapa pemaparan di atas, bukan hal aneh jika Rasulullah
shallallaahu’alaihiwasallam menganjurkan pria untuk “memperbanyak
kriteria” tentang wanita yang baik untuk dijadikan pasangan. Jangan
hanya memandang paras yang memikat, tetapi juka harus ditilik dari
segi-segi yang lain, keluarganya, gaya hidup, dan terutama: pengamalan
agamanya. Supaya, tidak semua wanita masuk ke dalam hatinya. Adapun
wanita, dianjurkan mengurangi kriteria-kriteria pasangannya, dengan
memprioritaskan beberapa saja, terutama: pengamalan agamanya. Supaya,
tidak semua pria dianggap tidak pantas, dan agar jodoh menjadi ada.
Sebab, setiap orang selalu ada “Tapi”-nya. Yaps. Ada cowok baik,
ganteng, sopan, “tapi” nggak kaya. Ada cowok pinter, alim, “tapi” nggak
ganteng. Dan semacamnya. Ada orang gede berotot, perkasa, berwibawa,
“tapi” takut sama kecoa. Ahahay… Setiap cowok, punya “peluru
cinta”, yang akan ia tembakkan kepada wanita pujaan hatinya. Ada yang
memiliki banyak peluru cinta, sehingga gemar “menembakkannya” setiap
kali ada wanita yang pas untuk jadi sasaran tembak. Ada yang hanya punya
beberapa peluru, sehingga peluru yang terakhir hendaknya dipertahankan
hingga waktunya tepat, jangan dibuang percuma menjadi kehampaan. Ada
juga, yang hanya punya satu “peluru cinta”. Ialah “Sniper Cinta”. Ia
hemat-hemat peluru itu agar tak melesat sebelum datang wanita yang mau
“ditembak” dengan “peluru satu-satunya” dalam ikatan pernikahan.
Sedangkan wanita, kekebalan terhadap peluru dan kemampuan
menghindarinya bisa menjadi perbincangan menarik. Ada wanita yang selalu
saja “menjadi klepek-klepek” setiap kali terkena peluru-peluru cinta
pembius yang datang dari siapapun. Tapi yang kasihan adalah ia yang
selalu “terluka” akibat peluru-peluru nyasar. Ada yang “lebih kebal”
peluru, tetapi beberapa kali tak berdaya menghadapi peluru cinta yang
datang bertubi-tubi. Ada juga, “Wanita Anti Peluru”, hanya mempan oleh
satu peluru, yaitu “peluru cinta” dalam ikatan pernikahan. (Kata “cinta”
harap tetap dipahami sebagai cinta yaa.. jangan dipahami “yang lain”).